Feb 7, 2016

Pesona Old Town Chania yang Bikin Betah



Memasuki bandara Daskalogiannis di prefektur Chania, mulai terasa kekontrasannya dengan kota Athena yang baru saja saya dan Diyan tinggalkan. Suasana bandara kecil ini jauh lebih santai, fasilitas ekstra pun hampir tak tersedia, seperti kafe, apalagi kursi pijat. Saya harus melupakan rasa lapar yang mulai mengganggu dan bergegas ke halte bus. Setengah jam kemudian barulah bus kami tiba, bus yang akan membawa kami ke kota Chania, kota kedua terbesar di Pulau Kreta yang menyimpan banyak sejarah dan atraksi. 

Setelah melewati jalan yang berliku dengan pemandangan hutan asri, tiba kami di terminal bus tengah kota Chania. Jauh lebih kecil daripada Kampung Rambutan di Jakarta, jauh lebih bersih dan teratur walaupun sama sibuknya. Wisatawan dengan berbagai bahasa turun dan naik bus, menggendong ransel dan menarik koper mereka. Diyan menyalakan ponsel dan menyambungkannya dengan WiFi gratis dari terminal, demi melihat peta untuk menuju penginapan. Oh ya, cara baca Chania adalah: kha-nya.

Melewati pertokoan modern menuju penginapan.

Tidak jauh dari terminal bus.

Pemandangan kota Chania dari teras penginapan.


Kami hanya perlu berjalan kaki selama lima belas menit melewati deretan toko fashion internasional untuk sampai di penginapan Airbnb yang berlokasi di perumahan. Ransel memang berat, tapi udara sejuk musim semi sore itu sangat menyenangkan, saya pun tak ingat mengeluh apa-apa. Penilaian awal saya tentang Chania adalah, kota ini modern, rapi, bersih, dan tidak ada yang terlihat istimewa. Namun hanya satu jam kemudian penilaian saya pun berubah, ketika kami berjalan-jalan di Old Town.

Old Town adalah bagian kota Chania di tepi teluk pelabuhan, menghadap Laut Aegea di sebelah utara. Area ini menyimpan peninggalan kekuasaan Venesia dan Otoman berupa mercusuar, bekas masjid, jajaran bangunan dan rumah besar yang dijadikan restoran, toko, dan penginapan. Bagian kota ini ramai dikunjungi wisatawan, apalagi menjelang matahari terbenam saat siluet menjadikan suasana semakin romantis. Warna-warna hangat mendominasi bangunan, perabot, hingga suvenir yang dijajakan di sepanjang pertokoan. Seperti kebanyakan kota tua, Old Town di Chania dikelilingi tembok tinggi, yang dulu diperuntukkan sebagai pelindung dari serangan musuh. Bahkan parit yang mengelilingi kota tua ini pun masih ada. Khayalan saya langsung melayang ke abad pertengahan seperti yang ada di film-film dan komik Johan & Pirlouit. 

Kami beruntung sekali karena suatu pertunjukan musik dan tarian tradisional sedang diadakan di pelataran utama Old Town ketika itu. Tontonan terbuka dan gratis, menampilkan penari-penari muda berbalut pakaian etnik. Gerakan mereka enerjik, melompat-lompat dan berputar-putar di panggung sambil bergandengan tangan. Bodohnya, saya lupa menanyakan nama dan asal tarian tersebut.

Parit di luar kota tua, seperti yang pernah saya lihat di komik-komik Belgia.

Semua ada di Old Town!

:)


Tarian yang enerjik di panggung pelataran Old Town.


:)


Melompat tinggi, ada teman yang memegangi agar kamu tidak jatuh.


Balon di sana sama, ya, dengan di Indonesia. 


Selama 3 hari 2 malam menginap di Chania, hari kedua penuh kami habiskan di Samaria Gorge, yang berlokasi di luar kota (akan saya tuliskan ceritanya besok-besok). Selama itu kami sempat dua kali berjalan-jalan di Old Town, walaupun masing-masing dengan waktu yang cukup singkat. Sempat dua taverna pula yang kami datangi untuk makan siang.

Hampir tiap taverna diwakili seorang staf di pintu masuk untuk mempromosikan sajian mereka yang dijanjikan sebagai cita rasa otentik Kreta. Kami pun tergoda oleh Taverna Ela yang ruangan utamanya terlihat luas, hanya beratap setengah, berdinding batu, berperabot kayu, dan sebagian menunya disajikan di mangkuk tanah liat. Seperti banyak taverna lainnya di Old Town, Ela pun menyediakan menu dalam beberapa pilihan bahasa.

"God loves our traditional food", kata tanda di depan situ.

Bangunan unik!


Kohli bourbouristikalau tidak salah namanya -   menjadi menu pilihan saya. Ini tak lain adalah siput goreng. Bumbunya gurih, tapi saya lupa terbuat dari apa saja. Saat makanan dihidangkan, saya rada kaget melihat ukurannya. Ternyata bukan orang saja, siput sana pun lebih besar daripada di Indonesia (setidaknya yang pernah saya lihat). Sayangnya, karena besarnya itu, tekstur daging yang kenyal dan licin sangat terasa di lidah, membuat saya sedikit jijik. Beda dengan gulai cipuk yang biasa dimasakkan ibu mertua, walaupun sama kenyal dan licinnya tapi ukurannya kecil, sehingga teksturnya tidak dominan dibandingkan bumbunya. Dengan terpaksa saya menyisakan makanan kali ini.

Sedangkan Diyan memesan dolmathakia, terbuat dari nasi dan bumbu-bumbuan dibungkus daun anggur, serta cocolan tzatziki khas Yunani yang terbuat dari yogurt. Menurutnya, rasanya seperti tapai. Menu satu lagi saya lupa namanya, semacam kari berwarna oranye, dengan isi telur dan udang. Walaupun tidak semuanya sukses bagi indera pengecap kami, sejauh ini kami menilai makanan di Chania lebih berbumbu, maka lebih lezat, daripada di daerah Yunani lainnya.

Kohli bourbouristi, kalau tidak salah.

Nah, yang ini lupa namanya. Yang jelas, ada udang dan telur di dalamnya.

Dolmathakia.


Di hari lain kami juga sempat makan siang ala al fresco di Old Town. Staf promosinya sangat ramah, malah mungkin kelewat ramah bagi orang yang tak suka disapa orang asing. Ia bukan hanya berteriak ala “Giordano-nya, Kakaakk…!”, tapi juga mengajak ngobrol, memuji, dan bercanda dengan orang-orang lewat. Menurut saya, orang ini menyenangkan dan seru. Namun, ujung-ujungnya harga berbicara. Saya menampik tawarannya setelah melihat harga menu yang kemahalan buat kocek kami. Begitu saya bilang, “Sorry, it’s too expensive for us,” ia langsung menawarkan diskon 50 persen. We’re so on board!

Menu dengan hidangan daging domba dan sapi menjadi pilihan kami di sini, ditemani kentang dan lalapan. Seingat saya rasanya enak, tapi tidak spesial. Porsinya sangat besar, kami pun minta setengahnya dibungkus, untuk makan malam di penginapan. Sudah pelayanannya ramah, harganya diskon, makanan cukup enak, cukup untuk dua kali makan, pula! Meminjam istilah bapak-bapak masa kini: menang banyak!


Tips hemat: Makanan porsi banyak, sisakan setengah untuk makan malam. 
I love al fresco!

Si bapak yang ramah dan pemberi diskon.


Chania, yang berlokasi di bagian barat Pulau Kreta, memang tidak sepopuler destinasi wisata Yunani lainnya seperti Santorini, Athena, bahkan Meteora. Kota ini lebih sering dijadikan transit bagi wisatawan yang ingin trekking ke Samaria Gorge, seperti halnya kami. Karena itu pulan, kami tak menyangkan bahwa ternyata Chania sangat menyenangkan dan jauh dari membosankan. Nuansanya yang terkesan santai dan serba terakota memberikan kehangatan dalam cuaca yang sejuk. Citra orang Kreta yang, menurut host Airbnb kami di Athena, agak serampangan, tidak kami rasakan di sini.

Selain yang saya ceritakan di sini, masih ada museum, gereja, sinagog, dan banyak tempat menarik lainnya yang belum sempat kami kunjungi di Old Town. Di pinggir kotanya pun terdapat Museum Tipografi, museum dengan tema yang cukup langka, yang untungnya berhasil kami kunjungi. Jika ada kesempatan lagi, ingin rasanya kami kembali ke Chania dan menikmati lebih jauh prefektur yang perfek untuk liburan santai itu.

Diyan dan Alfaro. 

Ingin kembali ke Chania!



Catatan:

Sebagian dari tulisan ini saya ambil dari artikel karya saya yang pernah dimuat di Majalah Panorama edisi September/Oktober 2015 mengenai perjalanan di Chania dan sekitarnya.


4 comments:

  1. menarik banget ya ternyata kota ini, tadinya waktu baca judulnya kukira di India nih kota lokasinya, hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. eh iya, mirip Chennai gitu ya namanya?

      Delete
  2. aah, lama tak berkunjung ke sapijalanjalan udah banyak ceritanya. duh, ini suasana di Old Town-nya kayaknya enak banget, ya. gue mah tiap hari jalan-jalan di situ aja udah seneng gak perlu ngapain-ngapain. hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul.. gue pun pada akhirnya merasa kurang lama di sanaa.. huhu..

      Delete