May 18, 2017

Tantangan Memakai Longyi Sehari di Bagan, Myanmar


Tulisan ini bagian dari artikel yang saya tulis untuk Majalah Panorama di tahun 2014, versi sebelum diedit. Perjalanannya sendiri kami lakukan di bulan November 2013, saat turis masih diizinkan untuk menaiki bangunan-bangunan kuil. Baca bagian pertama di sini


Memakai longyi di Bagan, Myamar.


I knew I loved you before I met you. Itu yang kami rasakan terhadap Bagan dari hasil pencarian informasi tentang Myanmar sebelum perjalanan. Bagan menyimpan segudang kisah bersejarah kerajaan Pagan. Ribuan kuil dan pagoda dari abad ke-9 hingga ke-18 tersebar di area seluas 104 kilometer persegi.

Kami tiba di terminal bus Nyaung U di subuh hari, lalu naik becak ke hotel Aung Mingalar. Becak di sana membuat dua penumpangnya bagaikan sedang bermusuhan karena duduk beradu punggung, yang satu menghadap depan dan satu lagi menghadap belakang. Sedangkan abang becaknya mengayuh pedal di samping bangku penumpang, alhamdulillah menghadap ke depan. 

Pagoda Shwezigon


Tantangan Memakai Longyi: Naik Sepeda


Setelah menaruh ransel di hotel, kami pergi ke Pagoda Shwezigon naik sepeda sewaan. Pagoda berusia 9 abad ini merupakan salah satu pagoda terbesar di Bagan, dengan tinggi dan lebar dasarnya hampir 50 meter. Di salah satu koridor yang mengelilinginya, pandangan saya tertumpu pada tumpukan longyi dengan berpuluh-puluh macam warna dan motif. Nah, ini dia yang kami cari-cari!


Dari semua motif, pilihan kami akhirnya berkompromi dengan harga dan budaya setempat. Ternyata, longyi untuk pria hanya polos atau bermotif kotak-kotak, sedangkan untuk perempuan tersedia pilihan motif yang jauh lebih beragam – mulai dari garis-garis dengan campuran benang emas hingga motif floral. Longyi dengan kain yang lebih tebal, berwarna hitam dan motif geometris dengan warna benang yang kontras, terlihat cukup menyerupai kain ikat, diberi harga tiga kali lebih mahal daripada yang lainnya.

Sebagian longyi untuk wanita adalah “ready made”, sudah dijahit tepinya dan ditambahkan tali kain panjang untuk mengikat di pinggang. Sang pedagang mengajarkan cara mengenakannya, sedikit berbeda dengan cara memakai sarung yang kami tahu. Untuk longyi tanpa tali tambahan, cara menyimpul kain sama sekali tidak dengan mengikatnya, tapi dengan melipat dan menyelipkan ujung-ujung lipatan sedemikian rupa.


Menuju pagoda untuk beribadah.

Macam-macam motif longyi.

Diyan diajari cara memakai longyi.

Iseng-iseng, kami menantang diri untuk memakai longyi seharian penuh. Akibatnya, kami semakin sering dikira orang lokal, apalagi jika kami menyapa orang dengan “Mingalaba,” salam pertemuan yang berarti “semoga hari anda penuh berkah”. Biasanya orang akan lanjut berbicara dalam bahasa Myanmar dan kami hanya bisa bengong.

Ketika hendak pulang ke hotel, tantangan pertama dimulai.

Memakai longyi memang membuat saya merasa lebih anggun. Namun sesungguhnya, anggun itu sulit. Saya mesti lebih hati-hati melangkah karena saya tidak terbiasa mengenakan rok panjang lurus hingga ke mata kaki. Ketika pulang ke hotel naik sepeda, jangan ditanya lagi kesulitannya. Saya hampir terhuyung-huyung karena harus mengendalikan sepeda sekaligus mengendalikan longyi, sementara di jalan yang hanya berlajur dua tanpa trotoar saya berpapasan dengan motor, pejalan kaki,  mobil, delman, hingga truk! Damn, how do the locals make it look so easy?! 

Mengendarai motor pakai longyi.

Kendaraan besar semakin membuat jalan berdebu.

Tantangan Longyi: Naik Delman


Setiap tahun Myanmar ramai dikunjungi turis antara bulan Oktober sampai Februari, saat cuaca cenderung bersahabat, tidak sering hujan dan tidak terlalu panas. Bagan mengingatkan saya pada Bali karena mata pencarian masyarakat banyak yang bergantung pada bisnis pariwisata. Setidaknya, itu yang dikatakan oleh penarik delman setempat, yang mengantarkan kami tur sehari penuh dengan kudanya, Freedom, dari subuh hingga magrib.

Tantangan kedua mengenakan longyi adalah ketika menaiki delman. Tidak ada cara lain, saya harus menarik kain sampai ke lutut sambil naik di bagian belakang. Sampai di atas delman, ada masalah lain. Tidak ada bangku, yang ada hanya matras seluas bak belakang, sehingga saya harus duduk lesehan dengan “rok span” baru saya.

Pilihan lain adalah dengan duduk menghadap belakang dan kaki bergantung ke luar, dan ini beda lagi tantangannya. Posisi delman agak menukik ke belakang, jadi rasanya takut jatuh kalau saya duduk menghadap belakang seperti itu. Posisi duduk di samping Pak Kusir memang paling nyaman karena kita bisa duduk normal saja, apalagi pemandangan pun terbentang luas di depan. Maka saya dan Diyan pun duduk bergantian di depan.

Delman tanpa pembatas di bagian belakang.

Freedom dan Pak Kusir menunggu kami di halaman salah satu kuil.



Tantangan Memakai Longyi: Naik Tangga Kuil

Tantangan ketiga mengenakan longyi adalah saat harus naik tangga pagoda Bulethi, yang jarak vertikal antar anak tangga hampir setinggi lutut saya. Ditambah lagi, saya memang selalu gamang saat menaiki bangunan tinggi tanpa pegangan tangga. Rasanya mau jatuh! Tertatih-tatih seperti jompo, saya menaiki tangga dengan berpegangan pada anak tangga di depan, tangan sesekali menarik kain agar tidak menyerimpet, dan sebisa mungkin tidak menatap ke bawah. Hari masih gelap, kelamnya pagoda batu bata tersebut hanya diterangi oleh cahaya senter yang kami bawa sendiri.

Semua ini saya lakukan demi melihat matahari terbit di atas daratan luas yang penuh dengan kuil dan pagoda. Gradasi ketajaman warna tampak berlapis-lapis dari garis horizon. Pemandangan yang awalnya keabu-abuan berangsur-angsur menjadi cerah, seiring naiknya posisi matahari dari ufuk timur. Semakin terang, semakin terkuak pemandangan bangunan kuno misterius, tersebar di antara pepohonan dan ladang rumput. Fantastis!

Pada pukul 6.00, balon-balon udara mulai beterbangan, mempercantik pemandangan kami dari atas Bulethi. Naik balon udara saat matahari terbit atau terbenam adalah salah satu kegiatan paling istimewa di Bagan. Harganya tidak murah, tapi semua testimoni mengatakan bahwa itu salah satu pengalaman terindah dalam hidup mereka.


Balon-balon terbang di atas Bagan.

Setelah berhasil naik tangga pakai longyi.

Ketika matari mulai tinggi.


Tantangan Memakai Longyi: Merapikannya Tanpa Bercermin

Ada sekitar dua ribuan bangunan kuno yang tersisa di Bagan, dari total sekitar 10.000 bangunan sebelum dataran Bagan dilanda gempa bumi pada tahun 1975. Kami hanya sanggup mengunjungi sebagian kecil kuil dan pagoda di Bagan, dengan panduan Pak Kusir dan artikel-artikel dari internet yang sudah kami cetak.

Kuil Tha Gyar Hit memiliki patung Buddha setinggi 4 meter. Dari pelataran di atasnya terlihat Sungai Irawaddy yang mengalir di sebelah barat dataran Bagan.

Kuil Ananda merupakan pencapaian seni arsitektur tertinggi kerajaan Bagan, dan merupakan kuil tercantik yang kami kunjungi di Bagan. Berbagai teknik digunakan dalam membangun kuil ini, termasuk ukiran kayu, ukiran batu, pencetakan besi, dan lapisan batu bata.

Sedangkan kuil Dhammayangyi, bentuknya menyerupai piramida, menyimpan kisah suram dan misterius. Konon, Raja Narathu, yang membangunnya pada abad ke-12, adalah seorang perfeksionis dan kejam. Ia tak membiarkan sedikitpun celah di antara lapisan batu-batu bata karena ia menginginkan bangunan yang kokoh dan padat. Salah sedikit saja, hamba pekerja dihukum mati. Cerita versi lain, sang raja membangun kuil ini untuk menebus perbuatannya karena telah membunuh ayah, kakak, dan istrinya sendiri! Dan ia menyimpan bukti-bukti kejahatannya di suatu ruangan yang tertutup rapat. Tidak jelas kisah mana yang benar, tapi perasaan ngeri terbersit saat kami menyusuri lorong-lorong kuil Dhammayangyi yang terasa lembap.

Semakin sore, semakin banyak lorong dan anak tangga yang kami lalui di kuil-kuil tua, semakin berantakan pula lipatan longyi yang saya pakai. Akan sangat membantu jika saya merapikannya di depan cermin, tapi di situlah letak tantangannya.

Lama-lama, saya pikir, tak apa-apa berantakan, yang penting panjangnya longyi masih di bawah lutut, masih sopan untuk memasuki kuil-kuil dan pagoda. Sempat terpikir untuk menggantinya dengan celana panjang, tapi saya ogah kalah dengan tantangan sendiri. Lagipula tanggung, kunjungan saya tinggal ke satu situs lagi hari itu.

(Baca juga: Golden Palace Bagan)

Ananda Paya yang sedang dalam renovasi.

Kuil Dhammayangyi 
Salah satu jalan masuk ke kuil Dhammayangyi

Mulai Lincah dengan Longyi

Kuil Shwesandaw adalah tempat favorit para turis untuk melihat matahari terbenam. Saking ramainya, terlambat sedikit saja kita bisa gagal mendapatkan tempat strategis untuk melihat matahari.
Di pelataran bawah, berjajar meja suvenir. Di sebuah pojok, seorang wanita tua menenun kain bermotif garis-garis, yang biasa dijadikan syal maupun longyi. Wanita ini menarik perhatian para turis karena kalung-kalung di lehernya yang panjang. Obrol punya obrol, ternyata ia dari Di Mor Soo, sebuah daerah di selatan Myanmar. Mereka keturunan suku Kayan, bagian dari suku Karen yang sering menjadi daya tarik wisata di Myanmar dan Thailand.

Seusai melihat-lihat suvenir, kami naik ke pelataran tingkat keempat kuil Shwesandaw. Kali ini lebih mudah karena terdapat pegangan tangga, dan saya pun sudah mulai mahir melangkah dengan longyi. Ha!

Setelah melalui beberapa kesulitan selama memakai longyi, saya jadi kagum pada masyarakat Myanmar. Walaupun gaya berpakaian modern sudah memasuki kehidupan mereka, longyi masih banyak dipakai dan sepertinya tidak mengganggu kegiatan sehari-hari. Dari pengalaman dan pengamatan saya sendiri, longyi juga serbaguna. Saat cuaca panas, longyi melindungi kulit dari sengatan matahari dan memberi ruang untuk sirkulasi udara. Saat cuaca dingin, longyi bisa berfungsi bagaikan selimut. Untuk beribadah, longyi menutupi bagian tubuh yang seharusnya tidak diumbar. Sedangkan bagi para pria yang bekerja di ladang, longyi bisa ditarik dan disimpul di bagian pinggang hingga menyerupai celana pendek mirip popok dewasa. Longyi is versatility!

Memelajari peta Bagan sambil menunggu matahari tenggelam.


Para penjual longyi di pelataran Shwesandaw.

Pemandangan menjelang matahari terbenam.

* * *

Sore itu, pemandangan matahari terbenam dari Shwesandaw memukau. Kabut tipis perlahan-lahan menyelimuti dataran Bagan, diterpa cahaya emas berkilau dari sang mentari, hingga akhirnya berkas sinar memendar dari balik awan, meninggalkan ribuan kuil hanya sebagai siluet. Satu-persatu pengunjung turun dan meninggalkan kuil, kami tak ketinggalan.


Saya kembali menaiki delman, kali ini dengan lebih lincah, dan kami siap pulang ke hotel. Saya menatap longyi yang saya kenakan. Ia masih terlihat cerah walaupun sudah diterpa angin, debu, dan bergesekan dengan tembok-tembok kuil saat saya menyusuri lorong-lorongnya. Sudah waktunya saya bawa ia ke Indonesia sebagai kenang-kenangan kunjungan ke Myanmar yang penuh daya pikat.

Pemandangan matahari terbenam dilihat dari Shwesandaw.


No comments:

Post a Comment